Sabtu, 30 Agustus 2008

Kota Muntilan dan Bapak Kardinal

Minggu, 29 Juni 2008, Uskup Agung Jakarta, Kar­dinal Julius Darmaatmadja SJ (74 tahun) merayakan pesta perak (25 tahun) tahbisannya sebagai uskup. Bagi Bapak Kardinal, Muntilan punya kenangan khusus. Bukan hanya karena ia dilahirkan di kota ini. Berikut petikan wawancara majalah "HIDUP" dengan beliau.
Bagaimana Muntilan merupakan tempat yang menentukan arah hidup Bapak Kar­dinal?. Muntilan tempat saya lahir, merupakan tem­pat penting dalam misteri hidup saya ini, ter­lebih berkaitan dengan panggilan saya menjadi imam. Pertama,Muntilan adalah tempat yang me­nentukan bagi ayah saya untuk menjadi Ka­tolik. Pastor Frans van Lith SJ memilih men­dirikan sekolah guru di Muntilan, dan lewat sekolah guru ini beliau bercita-cita mendidik calon tokoh Katolik di tengah masyarakat. Memang profesi guru sangat terhormat dan ter­pandang, menjadi panutan tidak hanya bagi para muridnya tetapi juga masyarakat seki­tarnya. Kalau ada guru-guru Katolik di tengah masyarakat, pasti besar pengaruhnya bagi perkembangan Gereja. Pastor van Lith mencari murid-muridnya lewat kunjungan ke Lurah atau Kepala desa di sekitar Muntilan. Apakah juga sudah diperhi­tungkan bahwa anak-anak Lurah atau anak saudara-saudara Lurah sudah merupakan bibit unggul agar dapat dikembangkan di
pendidikan guru itu, saya tidak tahu. Tetapi, yang terjadi, Pastor van Lith mengunjungi kakek dari ayah saya yang pada waktu itu menjadi Lurah. Ayah saya dekat dengan kakeknya. Tidak mengherankan ketika kakek ayah saya di­kunjungi oleh Pastor van Lith dan mendapat penjelasan mengenai sekolah calon guru yang diselenggarakan di Muntilan, dengan senang hati ayah saya didaftarkan ke sana. Setelah mengikuti pendidikan beberapa ta­hun, akhirnya ayah saya minta dibaptis. Ini­lah jalan-jalan awal Tuhan menghendaki ayah saya menjadi Katolik untuk kemudian membangun keluarga Katolik di mana saya dilahirkan. Kedua,Muntilan juga menjadi tempat pen­ting di mana saya memutuskan untuk menjadi imam dan masuk Seminari Menengah di Jl Code Yogyakarta, sebelum pindah ke Merto­yudan setelah dibangun kembali dari rerun­tuhan pada tahun 1952. Memang banyak anak guru tamatan pendidikan Muntilan yang men­jadi seminaris waktu itu. Tentu tidak semua dapat melanjutkan
sampai selesai. Tetapi, ke­tika saya sendiri sudah di seminari, di kom­pleks perumahan guru itu ada lebih dari lima siswa seminari, dengan jenjang pendidikan yang berbeda. Saya termasuk yang terlambat bergabung. Yang lain sudah sejak tamat SD lalu masuk seminari. Setelah SMP, saya baru masuk Seminari Menengah. Saya belum terta­rik sebelumnya.
Saat istirahat, kami siswa-siswi kelas III mengunjungi gereja di dekatnya dan berdoa, saya lama-kelamaan menyadari tidak terta­rik untuk sekolah ke SMA supaya dapat ke Universitas, juga tidak tertarik pada teman yang akan ke SGA, Sekolah Analis. Sampai saya juga bingung sendiri mau melanjutkan ke mana? Lama-kelamaan muncul bayangan untuk menjadi imam. Ini yang bertahan dan makin menarik. Sekarang, kalau saya mengenang hal itu, saya berpikir, Tuhan menutup dulu ke­inginan saya melanjutkan ke mana-mana, baru kemudian membuka keinginan menjadi imam.
Muntilan adalah tempat penting bagi hi­dup saya sebagai calon imam. Bukan karena Muntilan itu sendiri, melainkan karena di Muntilan hadirlah rahmat Allah yang me­nentukan saya masuk ke jalan imamat. Ayah saya dibaptis di situ, dan di situ pula saya mengambil arah awal yang ternyata tidak hanya menuju imamat, bahkan menjadi Uskup dan Kardinal. Setelah saya menjadi seminaris dan menjadi imam, kerap dicerita­kan peristiwa ini. Ketika saya masih di TK, saya sakit malaria tropika dan dirawat di Rumah Sakit Muntilan yang dikelola oleh para suster OSF. Mgr Albertus Soegijapranata SJ mengunjungi rumah sakit diantar seorang suster memberkati semua yang beragama Katolik. Saya pun diberkati secara cepat sampai saya tidak tahu bahwa sudah diberkati. Maka, saya menangis dan minta supaya diberkati. Ternyata, Mon­sinyur berkenan datang lagi untuk memberkati saya secara khusus. Mungkin karena beliau kenal baik dengan ayah saya, maka berkenan mengulangi berkatnya.
Entah beliau, berdoa apa waktu itu untuk saya. Cerita burung men­gatakan bahwa ketika masih kecil, kalau ditanya mau menjadi apa, katanya saya men­jawab mau jadi biskop atau uskup. Muntilan, bagi saya, menjadi tempat Allah melimpahkan rahmat-Nya, menuntun langkah hidup saya.
(Majalah ”HIDUP” No 26 Tahun ke-62, 29 Juni 2008)

YSS